Siap sih yang tidak mau ingin hidupnya bahagia. Orang kemudian berjibaku mengejar kebahagiaan. Rela berbuat apa saja asakan dia dan keluarganya bisa meraih bahagia. Siang dan malam sibuk bekerja, tak kenal waktu, tak kenal lelah. Bahkan ironisnya, dengan alasan ingin bahagia, orang menghalalkan segala cara.
Yang fatal juga adalah ketika orang mengindentikkan kebahagiaan dengan banyaknya uang, dengan harta yang banyak. Orang-orang mengira dengan banyak uang dipastikan bisa hidup bahagia. Kaidah yang umum dipahami banyak orang adalah 'uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.' Maka ketika uang banyak, apapun keperluan bisa dibeli.
Saya termasuk orang yang tidak ingin ikut-ikutan kebanyakan orang yang punya pandangan hidup seperti demikian. Tidak aneh jika kemudian, orang berebut lowongan kerja, bahkan sampai menyuap pimpinannya. Orang berebut jadi guru dan dosen, menjadi PNS, alasan klasiknya karena setiap bulan akan selalu mendapatkan gaji tetap tanpa harus pusing.
Orang-orang juga berebut jabatan, yang paling kentara adalah mereka para pejabat yang korup. Orang sudah kehilangan akhlak malu. Kemaluannya setebal baja, yang penting bagaimana caranya mendapatkan uang banyak. Hidup bergelimangan harta, hanya agar dihormati banyak orang. Dengan uang banyak, dipikir semua orang bisa dikendalikan.
Tak terasa jika di antara kita kemudian, berlomba membangun rumah megah, mengoleksi mobil mewah, luas tanah yang berhektar-hektar, sampai-sampai menempuh jenjang pendidikanpun hanya sekadar untuk menaikkan gengsi dan mengejar pekerjaan. Orang-orang memang banyak terpuruk menumpuk uang tanpa peduli halal-haram.
Padahal kebahagiaan itu berbeda dengan kenikmatan. Bisa jadi karena uang kita banyak akan terasa nikmat tapi kebahagiaan belum tentu didapat. Karena lagi-lagi, kebahagiaan sama sekali tidak identik dengan uang. Malah semakin banyak uang bisa jadi malah menyengsarakan.
Buat apa uang banyak tapi hati tidak tenang. Seperti orang yang dikejar-kejar kesalahan yang terus menghantui. Buat apa harta banyak tetapi jalinan rumah tangga tidak harmonis. Buat apa uang banyak tetapi anak cucu kita nakal dan durhaka. Buat apa uang kita banyak tapi penyakit demi penyakit terus menggerogoti. Hidup seperti itu kehilangan orientasi.
Soal rezeki yang penting berkah. Sedikit banyaknya itu bukan ukuran. Tetapi seberapa pandai kita bersyukur. Seberapapun banyaknya uang dan harta kita, selama tak ada syukur, pasti akan selalu merasa kekurangan. Biarlah kita hidup sederhana asal kita hidup dengan jujur, apa yang kita makan, uangnya betul-betul didapat dari cara yang halal. Ingat, hidup hanya sekali, maka hiduplah dengan berarti, karena kita tidak hidup abadi.
Wallaahu a'lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 8 Januari 2018, 22.46 WIB
No comments:
Write comments