Monday, January 15, 2018

Orang Lain Menghormati Kita karena Apa?


Pernah tidak kita melihat orang tua yang memarahi anaknya seenak udel? Guru membentak siswanya karena suatu kesalahan? Pimpinan perusahaan menggertak mitra kerjanya (karyawan) yang keliru melakukan sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan sejenis semacam ini dipastikan pernah kita jumpai dalam realitas yang nyata. Atau bahkan kita menjadi salah satu pelaku dan atau korbannya.
Mereka yang lebih pandai, senior, tua, tinggi biasanya akan mudah meremehkan yang awam, yang junior, yang muda, yagng bawah. Kemarahan itu dipicu karena ada kesalahan yang disengaja ataupun tidak. Atau bisa jadi karena menurut sebagian orang, bahwa marah, merendahkan, meremehkan, dlsj justru dianggap terapi memuaskan hasrat diri agar tertuntaskan. Di samping karena punya 'power' sehingga mudah sekali orang meremehkan orang lain.
Padahal kalau kita cermati, orang tua belum tentu selalu bijak dalam menghadapi setiap masalah. Gurupun belum tentu selalu lebih pandai dan sempurna ketimbang siswanya. Begitupun yang tua belum tentu sedewasa yang muda. Sehingga bisa jadi malah sebaliknya. Tapi realitas sosial kita menggambarkan demikian. Bahkan untuk menghargai seseorangpun motifnya--bisa jadi--tidak tulus.
Kita acap kali bangga, ketika banyak orang yang menaruh hormat dan menghargai kita. Di antara kita bangga jika punya 'anak buah' yang siap disuruh ke mana saja. Sampai-sampai kita bekerja pun hanya untuk terus menumpuk uang, bekerja yang tak bernilai ibadah, bekerja yang tidak berkah, budaya kerjanyapun tidak sehat, saling sikut sana-sini, melakukan tidak korupsi dan lain sebagainya.
Orang lain menghormati kita karena kita punya jabatan tinggi, bangga apanya? Masyarakat memuja-muji kita hanya karena kita berasal dari dari keturunan darah biru atau ningrat, kalau hanya itu bangga apanya? Banyak orang yang menaruh hormat kepada kita karena kita banyak uangnya saja, itu penghormatan murni atau karena uang? Dan lain seterusnya, silakan direnungkan oleh masing-masing kita.
Hidup ini memang pilihan. Kita mau memilih hidup penuh makna dan hikmah, atau hidup seperti kebanyakan orang saja? Sebab orang-orang di zaman sekarang ini, masih banyak yang tertipu hal-hal semu yang berbau harta duniawi. Setiap hari sibuk waktu mengejar uang, dengan tanpa pertimbangan halal-haram. Pertimbangan halal-haram semakin sulit dibedakan karena korupsi saja dewasa ini dikerjakan secara berjemaah.
Lepas dari itu, kita semua harus belajar menghargai dan menghormati orang lain tanpa silau jabatan, profesi, kekayaan dan keturunannya. Kita juga harus bisa mendudukkan orang dengan setara tanpa peduli ia perempuan atau laki-laki, tua atau muda, kaya atau miskin, bos atau karyawan. Di sinilah sisi kedewasaan kita sedang diuji. Tidak mudah memang tapi kita harus berlatih dan membiasakan diri.
Inilah manfaatnya merenung dan muhasabah bagi diri dan mudah-mudahan bermanfaat bagi banyak orang. Mumpung kita masih diberikan kesempatan dan kenikmatan oleh Allah, mari kita manfaatkan seoptimal mungkin. Jangan sampai kita jadi orang yang menyesal. Sebab penyesalan memang selalu ada di akhir, tidak di awal. Kalau saja masing-masing kita bisa terus sibuk muhasabah diri, yakin, kehidupan ini akan semakin indah, perilaku korupsi akan mudah dikurangi, fenomena rebutan jabatan bisa berkurang, dan berbagai kezaliman lain bisa terus terkikis.
Wallaahu a'lam

Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 14 Januari 2018, 20.55 WIB

No comments:
Write comments