Jangan Bercerai!
Salah satu hikmah mengapa pernikahan masuk dalam kategori ibadah adalah selain karena juga diamalkan Nabi saw., pernikahan meniscayakan konsekuensi yang berat. Sebagaimana lazimnya ibadah, untuk mencapai istikamah, betapa susah. Untuk istikamah shalat lima waktu berjemaah dan tepat waktu saja, masih banyak di antara kita yang kewalahan. Begitulah gambaran betapa beratnya konsekuensi pasca pernikahan.
Maka benar saja ketika angka perselingkuhan, poligami dan termasuk juga perceraian semakin meningkat, adalah bukti bahwa pernikahan meniscayakan konsekuensi yang maha berat. Uang yang banyak sekalipun, paras yang cantik dan tampan sekalipun, berasal dari keturunan terpandang sekalipun, setinggi apapun jabatannya, dan seterusnya, semuanya tak bisa menjamin langgengnya rumah tangga.
Perceraian dianggap menjadi solusi apabila--setidaknya--memenuhi beberapa unsur berikut: ketika suami sama sekali tidak menafkahi (tidak peduli), melakukan KdRT, ketika suami/istri terjebak dalam ideologi Islam garis keras/Wahabi. Penyebab yang terakhir ini menimbulkan pemaksaan berbasiskan agama. Posisi istri dipaksa untuk tunduk tanpa kecuali kepada istri. Misalnya dipaksa untuk bercadar (padahal istri enggan) dan masih banyak contoh lainnya.
Di luar dari tiga penyebab yang telah disebutkan, perceraian sebaiknya tidak terjadi. Termasuk misalnya istri atau suami dikedapatkan berselingkuh. Selama keduanya masih bisa diajak bicara baik-baik, betapapun perselingkuhan menyakitkan, insya Allah masih bisa diatasi. Perselingkuhan yang bisa jadi tak ditolelir adalah perselingkuhan yang dilakukan berulang-ulang dengan unsur kesengajaan.
Sebaiknya memang jangan bercerai. Berpikir dan bersikaplah dengan dewasa. Saya selalu yakin penyebab utama retaknya rumah tangga adalah karena miskomunikasi yang mengakibatkan kesalahpahaman. Istri dan suami saling menaruh curiga, akibatnya mudah tersulut emosi, percekcokanpun tak dapat dihindari dan akhirnya berujung perceraian.
Kalau coba ditelusuri ada beberapa kejadian perceraian yang diakibatkan karena minimnya ekonomi, menurunnya kualitas fisik seorang istri ataupun suami dan tentu masih banyak lagi. Kondisi ini didukung misalnya oleh petugas KUA atau tokoh agama setempat yang tidak punya perspektif 'kesalingan', kitapun menyaksikan kejadian perceraian di desa-desa begitu marak terjadi.
Sependek pengalaman saya mengislahkan sepasang istri dan suami yang sedang punya masalah dan kemudian punya keinginan untuk bercerai, setelah didamaikan, bicara dari hati ke hati, diajak untuk merenungkan masa depan anak-anak dan keluarga, hampir semua dari mereka akan terenyuh dan mengurungkan niat untuk bercerai. Bahkan keduanya timbul sikap saling memaafkan untuk kembali memperbaiki kualitas rumah tangga yang sempat rusak.
Sehingga dengan demikian tugas kita adalah masing-masing untuk mawas diri. Jangan mudah mengucap kata cerai, terutama kepada para suami. Persoalan cerai bukan hanya menyangkut personal istri dan suami, melainkan anak-anak dan keluarga berkenaan dengan nama baik, psikologi dan masa depan keluarga. Mari kita saling rendah hati, saling mendoakan, saling menguatkan bahwa pada pada dasarnya perceraian banyak membawa dampak buruk bagi banyak orang.
Wallaahu a'lam
Mamang M Haerudin (Aa)
Pesantren Bersama Al-Insaaniyyah, 10 Januari 2018, 16.14 WIB
No comments:
Write comments